Selasa, 20 Mei 2014

Perdebatan ulama perihal kehujjahan hadist Dha'if

Hukum meriwayatkan hadist dha'if :
Boleh, selama bukan hadist maudhu' ulama membolehkan meriwayatkan hadist dhaif meskipun tanpa menjelaskan status kedha'ifannya. Akan tetapi kebolehan tadi tidaklah mutlak, dengan tiga syarat :
1. Tidak berkaitan dengan kaidah
2. Tidak berkaitan dengan syariat (halal & haram)
yang terkait dengan (fadla'ul a'mal) dan cerita-cerita.
Ketika mengamalkan hadist dhaif sebaiknya menggunakan kalimat pasif.
Hukum mengamalkan hadist dhaif terbagi menjadi tiga:
1. Melarang mengamalkan hadist dha'if secara mutlak (terkait apapun hadist tersebut). Tokoh yang mendukung adalah Yahya bin Ma'in(salah satu gurunya imam bukhari), Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Hazm.
2. Membolehkan secara mutlak
Tokoh pendukung pendapat ini Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud. Imam Ahmad bin Hanbal, bila kita melihat madzhabnya hanya berorientasi pada riwayat. Imam Abu Hanifah (banyak ro'yunya). Mengingat bahwasnya pada waktu Imam Ahmad bin Hanbal hanya ada 2 penggolongan hadist yaitu sahih dan dhaif. Kemungkinan yang dimaksud Imam Hanbal adalah hadist sahih ghairihi.
3. Pendapat jumhur ulama, membolehkan mengamalkan hadist dha'if ketika hadist itu berhubungan dengan fadla'ul a'mal, cerita-cerita, dengan memenuhi tiga syarat:
1. Hadist tersebut tidak terlalu dha'if artinya
 a. bukan karena perawinya orang yang dituduh dusta
 b. bukan karena perawinya itu orang yang sangat buruk hafalannya.
 c. perawinya itu bukan orang yang fasik.
3.Ketika mengamalkan hadist dha'if tidak boleh meyakininya itu pasti datangnya dari Rasul. Akan tetapi mengamalkannya sebagai bentuk kehati-hatian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar