Selasa, 23 September 2014

Coretan ku....





            Suara mu terdengar sayup-sayup ditelinga...
            Derasnya hujan mampu mengaburkan pandanganku...
Ku berjalan tertatih untuk mengampiri suaramu itu, dimana kah kamu..???
Kawasan ini terlalu dipenuhi pohon-pohon dengan daun yang lebat, belum lagi jalan yang curam, dan harus kususuri satu persatu.
Setelah melewati sungai, ku melihat adanya jejak kaki. Ku yakini itu adalah jejak kaki sepatu mu. Semangat langkah kaki ku mulai kembali, setelah ini aku pasti menemukan mu. Ternyata setelah kususuri langkah kaki itu, berhentilah aku disebuah gubuk tua. Jika ku amati gubuk ini memang sengaja di buat oleh penduduk daerah sekitar sebagai tempat berteduh atau beristirahat melepas lelah setelah mencari kayu di hutan ini. Walau kayunya sudah banyak yang rapuh tetapi atapnya masih bagus. “ Alhamdulillah ada tempat untuk beristirahat” gumam ku dalam hati. Aku belum menemukanmu, aku mulai teringat kata-katamu sebelum kita terpisah seperti ini. “Aku pasti akan menunggumu, sampai bertemu di pos terakhir” itulah ucapan terakhirnya dengan tersenyum manis pula dia ucapkan. Tetapi ketika ditengah perjalan  hujan cukup deras, jalan juga menjadi sedikit licin, sementara yang ku ingat dia tidak membawa bekal alat penerangan. Dia telah berjalan terlebih dahulu dengan regunya. Aku dalam pemberangkatan regu ke lima. Aku berharap kita semua bisa sampai pada pos terakhir dengan selamat. Tetapi ketika aku mulai berangkat, aku mendengar bahwasanya di regu pertama ada yang terperosok kebawah sungai. Aku mulai cemas sebab masih belum ada keterangan yang jelas siapa yang terperosok tersebut. Akan tetapi setelah ku dengar bahwa salah satu panitia menyebut nama Shabil seketika itu darahku mulai berhenti mengalir, badanku gemetar.  
Secara reflek kutinggalkan reguku dan berlari untuk mencari Shabil. Hanya dengan membawa senter kecil aku mulai menyusuri jalan, tetapi karena lebatnya hujan aku juga terperosok dan kepalaku membentur pohon. Tidak ku ketahui secara pasti berapa lama aku tak sadarkan diri. Tapi ketika aku bangun, sumua masih nampak kabur dalam penglihatanku. Aku mulai bangkit dan teringat Shabil. Aku memanggil namanya, aku bersyukur aku tidak hilang ingatan. Aku juga mendengar sayup-sayup suara yang memanggil, mungkin iti suara kakak-kakak panita yang mencari aku dan Shabil. Tetapi ketika aku mulai dekat dengan sungai aku mendengar suara Shabil.  “Shabil, dimana kamu, Shabil, Shabil...” teriak ku.
Kini aq berteduh dan beristirahat di gubuk itu, aku ingin segera menemukan sumber sura Shabil walaupun sekarang ini tak ku dengar lagi suara Shabil. Aku sangat mencemaskan Shabil. Shabil sudah kuanggap sebagai kakak kandungku. Walaupun aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Rumahku bersebelahan dengan Shabil, sejak kecil kami selalu bersama, sebab kami seumuran. Orang tua kami juga sangat akrab, terkadang ketika bunda harus menemani ayah bertugas keluar kota dan aku harus sekolah. Aku selalu dititipkan kepada orang tuaShabil begitu pula sebaliknya. Aku juga ingat pesannya mama Shabil ketika kita mau berangkat camping. “Nduk ntar kalau Shabil ada keperluan apa-apa dibantu ya, tante titip Shabil” Aku tahu mama Shabil sangat mengkhawatirkan Shabil sebab Shabil sering kali mudah sakit sebab itu dia tidak boleh terlalu capek. Sebelumnya aku udah anjurin Shabil agar tidak ikut acara ini sebab fisiknya yang kurang sehat. Tapi Shabil tak menghiraukan anjuran aku, “Insya Allah aku baik-baik saja, Allah selalu menjagaku” itulah jawaban jitunya. Aku sangat khawatir dengan Shabil, semoga tidak terjadi segala sesuatu yang membahayakan Shabil. Aku harus segera menemukan Shabil. Kini aku meninggalkan gubuk itu, tetapi ketika aku mau keluar dari arah belakang gubuk nampak cahaya senter ku menangkap sebuah bayangan sepatu, aku segera menghampiri bayangan itu. Sebenarnya aku takut untuk menghampiri tetapi aku harus melihatnya siapa tahu itu adalah sepatu Shabil. Ketika aku mulai mendekat semakin jelas saja sepatu itu, ya itu sepatu Shabil sepatu berwarna biru dengan tali putih. Alangkah bahagia tersirat dalam hatiku karena pasti disitu ada Shabil.
“Shabil...Shabil itukah kamu Shabil...” teriakku memanggil Shabil, tetapi tiada sahutan sama sekali. Tetapi ketika aku hampiri tepat ke belakang gubuk dan setelah memastikan bahwa itu adalah sepatu Shabil betapa terkejutnya aku, ternyata Shabil telah terbaring lemas dengan darah bercucuran dikeningnya. Aku menangis dan segera ku raih tubuh Shabil untuk membopongnya kedalam gubuk. Secara logika aku tidak akan mampu membopong Shabil yang tinggi besar sementara badan ku kecil dan aku seorang perempuan. Namun itulah kuasa Allah serta adanya tekad kuat dalam diriku hingga terasa ringan sekali aku membopong Shabil. Aku berteriak meminta tolong, aku sangat panik, bingung, dan sedih sekali. Rasanya aku ingin terbang saja dan segera membawa Shabil kerumah sakit. Nah itulah sisi keanehan q disaat bingung aku suka berkhayal mempunyai kekuatan supranatural seperti Do Min Joo dalam film Korea(You Who Came From the Stars). Kini aq makin panik ketika badan Shabil semakin dingin dan wajahnya nampak pucat. Aku sebenarnya juga kedinginan tetapi aku tidak kuat lagi melihat Shabil terbaring lemas. Jaket yang kukenakan segera ku lepas dan kupakaikan pada Shabil. Aku tinggalkan sebentar Shabil untuk mencari bantuan, setelah berjalan sekitar tigapuluh menit aku bertemu dengan kakak-kakak panitia. Tanpa banyak bicara aku segera mengajak mereka untuk ke gubuk.
Kini aku bersama Shabil sudah berada di rumah sakit, tetapi orang tua kami belum mengetahui bahwa kami megalami kecelakaan di hutan. Walaupun aku juga harus dirawat dirumah sakit tetap fikiran dan hatiku tidak tenang sebab sampai sekarang Shabil belum juga sadar. Aku ingin menemui Shabil, aku ingin berada di samping Shabil. Aku merasa bersalah tidak mampu menjaga Shabil sementara mama Shabil telah menitipkan Shabil padaku. Ketika aku tertegun apa yang telah terjadi pada ku dan Shabil aku tersadarkan oleh suara bunda dari luar. “Latifah, nduk bagaimana keadaanmu..? tanya bunda padaku. “Aku baik-baik saja bun, tapi...” seketika itu aku menagis dan memeluk bunda. “tetapi Shabil bun, Shabil...”. begitu berat aku mengucapkannya.
Keesokan harinya aku diantar bunda menuju ruang rawat Shabil, dia masih belum sadar juaga, sebab terlalu banyak darah yang ia keluarkan. Aku sangat sedih melihat ini semua. Mama dan papa Shabil nampak cemas, dan hanya diam. Bunda memeluku, dan mengelus pundakku. Air mataku tak mampu terbendung lagi, kini tumpahlah air mata itu. Jujur Shabil adalah kakak terbaik, disaat aku dulu SMP sering diejek karenan dandanan ku yang polos dan dianggap culun. Dia selalu membelaku, bahkan dia berpura-pura bahwa aku adalah adik sepupunya, disaat orang-orang benci kepadaku di tidak sedikitpun malu dengan penampilanku. Kata Shabil, tetaplah kamu jadi dirimu sendiri, jangan dengarkan omongan orang, orang-orang yang menghinamu itu adalah orang bodoh. Kata Shabil aku ini memang polos, tetapi kepolosanku itu yang membuatku tampak cantik bagi Shabil. Aku juga pernah dibuli teman-teman satu kelas, karena keculunan itu juga. Tetapi semenjak aku pulang bersama Shabil teman-teman tidak ada lagi yang berani mengangguku. Shabil memang jadi favorite, selain dia pandai, ganteng, juga berhati emas. Tetapi sampai kapanpun aku akan menganggap dia sebagai kakakku. Kakak terbaik ku, kakak yang selalu menghiburku disaat aku sedih, kakak yang selalu melindungiku. 


Bersambung.....



Tunggu kelanjutan ceritanya,,,
Bagaimanakah keaadaan Shabil, mampukah dia melalui masa kritisnya...
Bagaimanakah dengan Latifah, mampukah dia melewati cobaan ini...

Oleh: Anita Anestia.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar