Suara mu terdengar
sayup-sayup ditelinga...
Derasnya hujan mampu mengaburkan pandanganku...
Derasnya hujan mampu mengaburkan pandanganku...
Ku
berjalan tertatih untuk mengampiri suaramu itu, dimana kah kamu..???
Kawasan ini terlalu dipenuhi pohon-pohon dengan daun yang lebat, belum lagi jalan yang curam, dan harus kususuri satu persatu.
Kawasan ini terlalu dipenuhi pohon-pohon dengan daun yang lebat, belum lagi jalan yang curam, dan harus kususuri satu persatu.
Setelah melewati
sungai, ku melihat adanya jejak kaki. Ku yakini itu adalah jejak kaki sepatu
mu. Semangat langkah kaki ku mulai kembali, setelah ini aku pasti menemukan mu.
Ternyata setelah kususuri langkah kaki itu, berhentilah aku disebuah gubuk tua.
Jika ku amati gubuk ini memang sengaja di buat oleh penduduk daerah sekitar
sebagai tempat berteduh atau beristirahat melepas lelah setelah mencari kayu di
hutan ini. Walau kayunya sudah banyak yang rapuh tetapi atapnya masih bagus. “ Alhamdulillah
ada tempat untuk beristirahat” gumam ku dalam hati. Aku belum menemukanmu, aku
mulai teringat kata-katamu sebelum kita terpisah seperti ini. “Aku pasti akan
menunggumu, sampai bertemu di pos terakhir” itulah ucapan terakhirnya dengan
tersenyum manis pula dia ucapkan. Tetapi ketika ditengah perjalan hujan cukup deras, jalan juga menjadi sedikit
licin, sementara yang ku ingat dia tidak membawa bekal alat penerangan. Dia
telah berjalan terlebih dahulu dengan regunya. Aku dalam pemberangkatan regu ke
lima. Aku berharap kita semua bisa sampai pada pos terakhir dengan selamat.
Tetapi ketika aku mulai berangkat, aku mendengar bahwasanya di regu pertama ada
yang terperosok kebawah sungai. Aku mulai cemas sebab masih belum ada
keterangan yang jelas siapa yang terperosok tersebut. Akan tetapi setelah ku
dengar bahwa salah satu panitia menyebut nama Shabil seketika itu darahku mulai
berhenti mengalir, badanku gemetar.
Secara
reflek kutinggalkan reguku dan berlari untuk mencari Shabil. Hanya dengan
membawa senter kecil aku mulai menyusuri jalan, tetapi karena lebatnya hujan
aku juga terperosok dan kepalaku membentur pohon. Tidak ku ketahui secara pasti
berapa lama aku tak sadarkan diri. Tapi ketika aku bangun, sumua masih nampak
kabur dalam penglihatanku. Aku mulai bangkit dan teringat Shabil. Aku memanggil
namanya, aku bersyukur aku tidak hilang ingatan. Aku juga mendengar sayup-sayup
suara yang memanggil, mungkin iti suara kakak-kakak panita yang mencari aku dan
Shabil. Tetapi ketika aku mulai dekat dengan sungai aku mendengar suara
Shabil. “Shabil, dimana kamu, Shabil,
Shabil...” teriak ku.
Kini aq
berteduh dan beristirahat di gubuk itu, aku ingin segera menemukan sumber sura
Shabil walaupun sekarang ini tak ku dengar lagi suara Shabil. Aku sangat
mencemaskan Shabil. Shabil sudah kuanggap sebagai kakak kandungku. Walaupun aku
adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Rumahku bersebelahan dengan Shabil,
sejak kecil kami selalu bersama, sebab kami seumuran. Orang tua kami juga
sangat akrab, terkadang ketika bunda harus menemani ayah bertugas keluar kota
dan aku harus sekolah. Aku selalu dititipkan kepada orang tuaShabil begitu pula
sebaliknya. Aku juga ingat pesannya mama Shabil ketika kita mau berangkat
camping. “Nduk ntar kalau Shabil ada keperluan apa-apa dibantu ya, tante titip
Shabil” Aku tahu mama Shabil sangat mengkhawatirkan Shabil sebab Shabil sering
kali mudah sakit sebab itu dia tidak boleh terlalu capek. Sebelumnya aku udah
anjurin Shabil agar tidak ikut acara ini sebab fisiknya yang kurang sehat. Tapi
Shabil tak menghiraukan anjuran aku, “Insya Allah aku baik-baik saja, Allah
selalu menjagaku” itulah jawaban jitunya. Aku sangat khawatir dengan Shabil,
semoga tidak terjadi segala sesuatu yang membahayakan Shabil. Aku harus segera
menemukan Shabil. Kini aku meninggalkan gubuk itu, tetapi ketika aku mau keluar
dari arah belakang gubuk nampak cahaya senter ku menangkap sebuah bayangan
sepatu, aku segera menghampiri bayangan itu. Sebenarnya aku takut untuk
menghampiri tetapi aku harus melihatnya siapa tahu itu adalah sepatu Shabil. Ketika
aku mulai mendekat semakin jelas saja sepatu itu, ya itu sepatu Shabil sepatu
berwarna biru dengan tali putih. Alangkah bahagia tersirat dalam hatiku karena
pasti disitu ada Shabil.
“Shabil...Shabil
itukah kamu Shabil...” teriakku memanggil Shabil, tetapi tiada sahutan sama
sekali. Tetapi ketika aku hampiri tepat ke belakang gubuk dan setelah
memastikan bahwa itu adalah sepatu Shabil betapa terkejutnya aku, ternyata
Shabil telah terbaring lemas dengan darah bercucuran dikeningnya. Aku menangis
dan segera ku raih tubuh Shabil untuk membopongnya kedalam gubuk. Secara logika
aku tidak akan mampu membopong Shabil yang tinggi besar sementara badan ku
kecil dan aku seorang perempuan. Namun itulah kuasa Allah serta adanya tekad
kuat dalam diriku hingga terasa ringan sekali aku membopong Shabil. Aku
berteriak meminta tolong, aku sangat panik, bingung, dan sedih sekali. Rasanya aku
ingin terbang saja dan segera membawa Shabil kerumah sakit. Nah itulah sisi
keanehan q disaat bingung aku suka berkhayal mempunyai kekuatan supranatural
seperti Do Min Joo dalam film Korea(You Who Came From the Stars). Kini aq makin
panik ketika badan Shabil semakin dingin dan wajahnya nampak pucat. Aku
sebenarnya juga kedinginan tetapi aku tidak kuat lagi melihat Shabil terbaring
lemas. Jaket yang kukenakan segera ku lepas dan kupakaikan pada Shabil. Aku
tinggalkan sebentar Shabil untuk mencari bantuan, setelah berjalan sekitar
tigapuluh menit aku bertemu dengan kakak-kakak panitia. Tanpa banyak bicara aku
segera mengajak mereka untuk ke gubuk.
Kini aku
bersama Shabil sudah berada di rumah sakit, tetapi orang tua kami belum
mengetahui bahwa kami megalami kecelakaan di hutan. Walaupun aku juga harus
dirawat dirumah sakit tetap fikiran dan hatiku tidak tenang sebab sampai
sekarang Shabil belum juga sadar. Aku ingin menemui Shabil, aku ingin berada di
samping Shabil. Aku merasa bersalah tidak mampu menjaga Shabil sementara mama
Shabil telah menitipkan Shabil padaku. Ketika aku tertegun apa yang telah
terjadi pada ku dan Shabil aku tersadarkan oleh suara bunda dari luar. “Latifah,
nduk bagaimana keadaanmu..? tanya bunda padaku. “Aku baik-baik saja bun,
tapi...” seketika itu aku menagis dan memeluk bunda. “tetapi Shabil bun,
Shabil...”. begitu berat aku mengucapkannya.
Keesokan
harinya aku diantar bunda menuju ruang rawat Shabil, dia masih belum sadar
juaga, sebab terlalu banyak darah yang ia keluarkan. Aku sangat sedih melihat
ini semua. Mama dan papa Shabil nampak cemas, dan hanya diam. Bunda memeluku,
dan mengelus pundakku. Air mataku tak mampu terbendung lagi, kini tumpahlah air
mata itu. Jujur Shabil adalah kakak terbaik, disaat aku dulu SMP sering diejek
karenan dandanan ku yang polos dan dianggap culun. Dia selalu membelaku, bahkan
dia berpura-pura bahwa aku adalah adik sepupunya, disaat orang-orang benci
kepadaku di tidak sedikitpun malu dengan penampilanku. Kata Shabil, tetaplah
kamu jadi dirimu sendiri, jangan dengarkan omongan orang, orang-orang yang
menghinamu itu adalah orang bodoh. Kata Shabil aku ini memang polos, tetapi
kepolosanku itu yang membuatku tampak cantik bagi Shabil. Aku juga pernah
dibuli teman-teman satu kelas, karena keculunan itu juga. Tetapi semenjak aku
pulang bersama Shabil teman-teman tidak ada lagi yang berani mengangguku. Shabil
memang jadi favorite, selain dia pandai, ganteng, juga berhati emas. Tetapi sampai
kapanpun aku akan menganggap dia sebagai kakakku. Kakak terbaik ku, kakak yang
selalu menghiburku disaat aku sedih, kakak yang selalu melindungiku.
Bersambung.....
Tunggu kelanjutan ceritanya,,,
Bagaimanakah keaadaan Shabil, mampukah dia
melalui masa kritisnya...
Bagaimanakah dengan Latifah, mampukah dia
melewati cobaan ini...
Oleh: Anita Anestia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar